Kritis (Tanpa) Bertoleransi

2makeyoulaugh.blogspot.com
Anak muda sekarang makin kritis ya, kata seorang teman. Saya menjawabnya dengan pringisan. Tidak membantah juga tidak mengiyakan. Terus terang saya memang nggak mau menjawabnya karena memang sangat debat-able. Dan teman saya ini, saya tahu betul tidak punya kapasitas untuk memperdebatkannya. Jiaah, kedengeran congkak betul saya.

Sama sekali tidak bermaksud merendahkan kemampuan seseorang. Nop, saya tidak pernah merasa jadi orang paling pintar. Justru berangkat dari situ, saya ingin semua hal yang saya lakukan bisa menambah wawasan dan ilmu buat saya. Begitu pula saya memandang sebuah kegiatan perdebatan.

Buat saya, perdebatan adalah proses saling melengkapi pengetahuan melalui sebuah dialog sehat yang menjunjung tinggi prinsip egaliter. Tanpa kesetaraan, perdebatan nggak akan berarti apa-apa. Jadinya ya cuma omong kosong. Olahraga mulut.

Kenapa saya justru ngulik tentang perdebatan, bukan tentang sikap kritis anak muda seperti yang dikatakan teman saya tadi? Jangan salah, dua hal ini ternyata berhubungan. Erat banget.

Beberapa bulan lalu secara nggak sengaja saya nonton acara televisi yang kalau nggak salah nama programnya Suara Pemuda. Tagline-nya cerdas, kritis, tanggung jawab. Dalam acara ini dua kelompok pelajar sekolah menengah atas dihadapkan untuk memperdebatkan satu tema. Kalau nggak salah pula, waktu itu tentang perlu tidaknya pendidikan seks buat pelajar. Menarik. Bukan karena ada kata “seks” di situ. Sama sekali nggak ada omongan tentang seks, karena memang bukan seks-nya yang dibahas. Apalagi seks di sini cuma….eh, kok malah saya yang berputar-putar di kata seks yak. Sorry…

Okey, let’s go back to the point. Bagi saya acara ini menarik untuk diamati karena ada pemahaman berbeda dari sikap kritis yang ditunjukkan para pelajar itu.  Tagline cerdas ditunjukkan dengan cukup bermutunya pendapat atau pemaparan yang mereka sampaikan. Saya kasih tambahan tagline “berani” karena keberanian mereka dalam menyampaikannya tanpa ragu-ragu di hadapan banyak orang, di depan kamera on air lagi. They’re good. Tapi makin lama menyimak, justru saya malah berniat menarik kembali bonus tagline yang saya berikan tadi.

Apa yang terjadi? Penyebabnya adalah hujan interupsi. Ketika perdebatan mulai memanas, sikap cerdas tadi rasanya semakin luntur aromanya. Bagaimana tidak? Belum selesai seorang mengungkapkan pendapatnya langsung dipotong dengan interupsi. Padahal baru beberapa kata saja yang meluncur. Nah, yang menginterupsi ini juga nggak luput dari perlakuan yang sama. Belum selesai ia menyampaikan interupsinya, sudah diinterupsi lagi oleh pelajar lain. Begitu berulang-ulang bak lingkaran setan. Edan, ini anak sekolah apa dukun sih? Pada jago meramal dan menebak pikiran orang. Weruh sakdurunge winarah.

Parahnya, sang presenter yang juga berperan sebagai moderator terlihat kedodoran memandu jalannya debat pelajar ini. Sudah kayak debat rimba aja. Si moderator baru menghentikan kekacauan itu setelah beberapa waktu sambil meminta semuanya bertepuk tangan. Seolah chaos itu adalah tanda kesuksesan sebuah acara debat. Fiuuh…

Saya jadi berpikir, apa iya ini contoh sikap cerdas dan kritis yang harus diajarkan kepada masyarakat terutama pelajar?  Sikap cerdas dan kritis menyalahkan orang lain dan berusaha menempatkan pendapatnya sebagai yang paling benar dan harus diikuti oleh orang lain.

Kembali ke pengertian perdebatan di atas tadi. Prinsip utamanya kesetaraan. Salah satu bentuk paling dasar dalam kesetaraan adalah menghargai orang lain. Termasuk pendapat dan ide yang disampaikannya. Saya sangat yakin, seyakin saya terhadap kapasitasnya teman saya tadi, bahwa prinsip ini terlewatkan oleh para pelajar terutama produser dan pembawa acaranya. Entah karena tidak tahu atau memang sengaja karena tren yang dibawa oleh banyak stasiun televisi memang seperti itu. Debat ya harus gontok-gontokan, panas dan penuh interupsi.

Saya pun jadi teringat ungkapan bos PT. Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food, Pak Priyo Hadi Sutanto (kini sudah almarhum) waktu menanggapi maraknya acara debat di televisi. Pengusaha gaek yang super ramah ini mengatakan bahwa orang Indonesia itu dididik untuk pintar berdebat, bukan pintar bernegosiasi.


“Kalau berdebat itu orang Indonesia sudah merasa paling hebat sedunia. Padahal untuk membangun bangsa yang dibutuhkan adalah kemampuan negosiasi bukan debat. Negosiasi selalu menghasilkan win-win solution. Kalau debat, apa ada hasilnya selain kesombongan?” 

Komentar

Postingan Populer