Gara-gara si Krebo, Stress Berkurang

foto : pikiranrakyat online

Dua puluh menit bersepeda motor melewati jalur lalu-lintas dari rumah menuju ke kantor bagi saya sama seperti melintasi neraka. Meskipun kepadatan jalan dari Kartasura menuju Solo, kota di mana saya bekerja, tidak ada apa-apanya dibandingkan Jakarta, tetap saja bikin stress. Setiap hari selalu saja ada pengendara mobil atau sepeda motor yang ngawur. Setiap hari pula saya dibikin jengkel. Mulai dari yang nyelonong memotong jalur, belok tanpa menyalakan lampu sein sampai pengendara yang hobinya sedikit-sedikit berteriak dengan klaksonnya. Pernah juga saya sampai bersitegang dengan seorang pengendara yang hampir menyerempet saya gara-gara ia mendahului dengan memotong jalur. Akibatnya, sesampai di kantor, mood saya sudah tidak fresh lagi.

Hal yang sama juga terjadi dalam perjalanan pulang kantor. Makanya setelah tiba di rumah, rasanya plong banget ! Lega, tapi capeknya minta ampun. Padahal secara fisik, saya tidak mengerjakan sesuatu yang sangat melelahkan. Saya pun berkesimpulan bahwa stress selama perjalanan berangkat dan pulang kantorlah yang menjadi pemicunya.

Hampir setengah tahun saya menjalani stress tersebut tanpa bisa menemukan solusinya. Namanya saja jalan umum, siapapun boleh menggunakannya. Memarahi semua pengendara tak becus itu tentu saja saya tak mungkin akan sanggup. Memilih jalur yang berbeda pun tidak membawa hasil karena tetap saja ketemu dengan pengendara ngawur. Sampai pada suatu pagi saya menyadari sebuah hal yang amat sederhana namun tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Seperti biasa saya melewati rute terpendek menuju kantor. Di tengah perjalanan, saya melihat seorang pengendara motor yang agak tidak beres. Dari caranya berkendara kelihatan sekali kalau dia adalah tipe pengendara yang ingin menang sendiri. Salip sana sini, serobot kanan-kiri tanpa peduli kalau manuvernya bisa mengganggu pengendara lain. Melihat sosoknya saya langsung teringat dengan teman sekantor saya, Agus Krebo panggilannya. Dari belakang posturnya sama persis. Pendek, agak gempal, kulitnya gelap dan rambut keriting panjang yang sebagian nampak  keluar dari sela-sela helmnya. Bukannya jengkel, saya justru tersenyum-senyum sendiri memperhatikan gaya berkendara tersebut. Saya ikuti terus, tapi saya tetap menjaga jarak agar tetap aman.

“Kalau itu si Krebo, tinggal jitak saja kepala kritingnya itu. Setelah itu, adukan ke istrinya biar tahu rasa. Membahayakan orang saja,” pikir saya gemas sambil membayangkan Agus Krebo diomelin istrinya.

Teman sekantor saya itu memang dikenal sebagai sosok unik. Gayanya kocak, penggila musik cadas,  tapi termasuk anggota Ikatan Suami Takut Istri. Saya pun berpisah jalan dengan pengendara itu sebelum sampai ke kantor. Anehnya, saya tidak merasa sejengkel sebelumnya. Tetap saja sempat jengkel sih, tapi ya seperti perasaan jengkel kepada teman baik. Ah, jangan-jangan inilah cara terbaik menghadapi stress di jalan. Memandang semuanya seperti layaknya teman. Pandangan ini pun saya praktekkan saat perjalanan pulang. Kali ini saya membayangkan seorang pengendara mobil yang berisik dengan klaksonnya seperti teman kuliah saya yang cerewetnya minta ampun tapi sebenarnya baik hati. Hasilnya, saya tiba di rumah dengan perasaan yang lebih enteng. Sejak menemukan cara ini, stress akibat keruwetan lalu-lintas pun jauh berkurang. Saya juga mengimbanginya dengan bersepeda ke kantor dua hari sekali.


Peristiwa remeh ini membuat saya belajar, bahwa mencari solusi sebuah masalah tidak selalu bisa dilakukan dengan menghilangkan masalah tersebut. Memandang masalah dengan sudut pandang yang berbeda ternyata juga bisa menjadi jawaban manjur untuk mengatasinya.

Komentar

Postingan Populer