Misuh yang Legal, Membahagiakan dan Berpahala

Waspadalah jika tokoh-tokoh ini berkumpul dalam satu panggung. Bagi yang kurang terlatih guyon, hidupnya jauh dari ketidakteraturan dan memandang bahwa tak ada yang lebih penting daripada petuah para motivator, mungkin bisa mengalami kram perut (bahkan juga otak).


Panggung yang dibangun dalam rangka Dies Natalis Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini mengaduk para seniman ludruk dengan seniman kethoprak jadi satu. Gaya ludruk disetting menjadi benang utama malam itu, Senin, 31 Oktober 2016. Ada Cak Tawar, Cak Agus Kuprit, Cak Edi Karya dan Cak Kirun sebagai “penjaga rambu” sekaligus “supir” pertunjukan Nyantrik Ludruk Cak Kirun ini. Artinya, seniman lain yakni Marwoto, Yati Pesek dan Ki Manteb Sudharsono harus menggeser gaya dagelan Jogja - Jawa Tengahan andalan mereka ke timur, sesuai rambu-rambu. Lebih lugas, thas-thes, kasar dan yang tak kalah mantap : penuh pisuhan!


Bayangkan, lokasinya di halaman rektorat sebuah institusi pendidikan tinggi ternama, dihadiri para petinggi kampus termasuk rektor dan jajarannya, tak ketinggalan para tamu undangan yang terhormat. Masuk dalam rangkaian Dies Natalis, dihelat di Solo pula, kota yang konon diposisikan sebagai pusat peradaban yang penuh kelembutan tutur, kehalusan laku, tata krama tingkat tinggi dan berbagai sikap adiluhung lainnya. Lha kok bisa-bisanya ada pertunjukan yang para pemainnya dibiarkan misah-misuh cal-cul tanpa sensor, dan penontonnya pun terbahak nggak karuan.

Yak, rupa-rupa pisuhan Jawa Timuran menjadi pemantik keriuhan yang ampuh di tengah dingin gerimis malam itu. Mulai dari jancuk, jangkrik, jamput, bangka (bacanya bongko, dengan lafal o seperti mengucapkan kolor) sampai modaro. Istilah lain seperti begenggek, picek, dublek dll membuatnya makin lengkap. Pisuhan Cak Kirun dkk seolah menciptakan jalan tol buat penonton untuk sejenak melepaskan diri dari keharusan menjaga citra santun-halus-anggun yang dibebankan kepada Kota Solo seisinya.

Katup pelepasan itu juga disambar oleh Marwoto dan Ki Manteb. Marwoto yang berperan menjadi jenderal kompeni yang menumpas Sarip Tambak Oso dapat lebih banyak kesempatan dibanding ki dalang oye yang keduluan dihabisi Sarip di pertengahan lakon. Kesempatan apakah itu? Kesempatan buat misuh-misuh secara legal!  Sebuah kesempatan langka yang mungkin nggak diperolehnya dalam kethorak, wayang orang atau dagelan mataraman. Pelawak yang terkenal dengan plesetan kata-kata ini nampak menikmati betul peluang itu.

Berhubung darah Jogja-Jawa Tengahan Marwoto yang kental, pisuhan kulonan (pokoknya yang berawalan baji/bajing) pun terbawa di antara pisuhan berawalan ja/jan dari tlatah wetan. Tak apalah, sing penting cangkem isoh misuh sak kayange.

Ki Manteb pun kelihatan menikmati perannya. Sebagai dalang yang secara strata budaya dianggap lebih tinggi kastanya dari para dagelan, beliau relatif steril dari pisuhan. Begitu main ludruk, runtuhlah sterilitas itu. Bahkan saking eksaitingnya, meski perannya sudah selesai karena terkapar tewas, pak dalang ini bangun lagi dan misuh!

“Jiyamput!!! Melu ludruk pisan we koyo ngene! Wes mati jik disalah-salahke!” , sambil ngeloyor masuk ke belakang panggung di tengah derai bahak tawa penonton.

Pasalnya, saat tergeletak mati, lawan mainnya, Cak Tawar mengomeli dia, “Iki yo ngono. Mangkane dikandhani konco ki ojok ngeyel ta lah. Penak-penak dadi dalang, katek melok ludruk barang. Lak matek seh peno. Rasakno saiki kon!”

Misuh buat orang Jawa Timur - terutama Surabaya dan sekitarnya - bukan hal tabu. Kenapa? Karena misuh sudah mendapatkan fungsi yang sangat strategis. Ketika mereka misuh, mereka tak menyumpahi atau merendahkan lawan bicaranya. Misuh ditempatkan sebagai kata sambung atau kata imbuh ekspresif untuk melengkapi dialog agar perbincangan mereka tidak datar-datar saja Makin ekspresif, makin gayeng, makin kencang tali pertemanan antara mereka. Tak ada aura negatif dalam pisuhan mereka.

Meski berstatus pelengkap, penggunaan kata sambung ekspresif ini hukumnya wajib. Sewajib keberadaan extension Internet Download Manager pada browser. Jika dilanggar, segera saja bersiap kehilangan pengakuan sebagai orang Jawa Timur tulen. Ini gawat. Tak ada yang lebih gawat daripada orang Jawa Timur yang nggak dianggap asli. Ini seperti kamu jual Pecel Madiun, trus ujug-ujug ada orang datang bertanya,” Mas, ini Ketoprak Jakarta?”  Pasti kamu pingin menjawab : modaro, mas!

Lain dengan karakter kultur poros Solo-Jogja. Orang Jawa Tengah pandai menekan perasaannya. Kami lebih memilih menyimpan rasa, menyatakannya di kala suasana sudah dirasa tepat atau memendamnya dalam-dalam. Tapi jika storagenya sudah terlalu penuh, ya terpaksa dikeluarkan. Salah satunya dalam format pisuhan. Bajingseng-i!

Sebagian orang Jawa Tengah memang ada yang sering menyematkan pisuhan dalam obrolan. Ini amat sangat terbatas cuma dengan kawan-kawan akrab. Sangatlah tidak mungkin bertanya kepada orang yang baru kenal seminggu-dua minggu dengan kalimat ; “Piye? Ko ngendi wae kowe, su? Wedangan kene sik yoh!”

Bisa-bisa mulutmu mlocot ditempiling sandal swallow warna biru laot!

Perbedaan dalam menempatkan pisuhan ini yang menguatkan pemisah karakter antara spesies Jawa Tengah dan spesies Jawa Timur. Kalau ketemu orang Jawa yang lugas,spontan, egaliter dan misuhan berarti kemungkinan besar dia orang Jawa Timur. Kalau ketemu orang Jawa Tengah tapi seneng misuh, kemungkinannya dia sudah terpengaruh pergaulan buruk atau sedang akting jadi orang Jawa Timur.

Dus, pisuhan-pisuhan dalam ludruk kemarin lumayan melarutkan simpanan endapan beraura negatif dalam dada. Saya dan para penonton yang sebagian besar berporos Solo-Jogja sangat merasa terwakili dipisuhkan. Kami tak perlu akting jadi orang Jawa Timur atau dianggap terjerumus pergaulan buruk atau bahkan terancam didemo secara masif dan terencana  agar bisa bicara ceplas-ceplos plus misuh sepuasnya.

Oleh karenanya, terima kasih Cak. Semoga banyolan dan pisuhan-pisuhanmu dari jam 20.00 sampai jam 01.00 lebih, mendapatkan pahala karena sudah membahagiakan banyak orang yang tak berani misuh, meski itu untuk kesehatan jiwanya. 

Foto2 : Njepret sendiri sambil ngakak2

Komentar

Postingan Populer