MZ Berjasa Membuat Orang Merasa Paling Berjasa

Sebenarnya saya kurang tertarik menulis tentang isu copras capres. Tapi hal unik yang membuat saya tergelitik adalah betapa pemilu kali ini mampu menghadirkan friksi yang demikian kuat secara horisontal. Terlebih lagi, friksi tersebut menyeruak ke ruang-ruang pribadi secara gencar dan tanpa sopan santun. Betul-betul nyaris menghilangkan kesan bahwa masyarakat Indonesia adalah orang Asia yang terkenal dengan keramahan, kerendahhatian dan kesopanan yang unggul.

Sebuah tulisan yang saya baca pagi tadi di sebuah majalah teknologi dan gadget menyatakan bahwa masyarakat jaman sekarang adalah tipe konsumen 2.0. Ini adalah model konsumen yang seluruh perangkat komunikasi dan teknologinya benar-benar perangkat pribadi. Tidak ada lagi cerita berbagi drive atau folder di antara sesama anggota keluarga di rumah. Semuanya menjadi sangat personal dan mandiri untuk urusan gadget.

Tulisan tersebut sejurus dengan fakta bahwa pertumbuhan pemakai internet di Indonesia adalah yang tertinggi ke-8 di dunia dengan jumlah sekitar 107 orang (data APJII). Dan pemakaian internet terbesar masyarakat kita adalah untuk urusan berjejaring sosial. Jumlah pengguna facebook di Indonesia merupakan yang terbesar ke-4 di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia (data Menkominfo) yakni sekitar 62 juta pengguna. Disusul Twitter, Google+ dan Linkedin. Potret inilah yang membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat empuk bagi segala aktivitas yang memanfaatkan media sosial sebagai alat promosi dan penjualan. Sayangnya, fenomena ini justru membuat kita jumawa. Cuma jadi konsumen kok bangga, kemaki, iso ngebom, gedhe ndhase, ngguya-ngguyu dhewe…

Pasar ini juga yang lantas dimasuki oleh arus politik pemilu. Masing-masing tim kampanye capres berlomba menebarkan jargon yang saling mengungguli satu sama lain. Ada yang kreatif, ada pula yang asal njeplak. Dan parahnya, tak sedikit pula yang menelan mentah-mentah isi kampanye hitam dan meyakininya secara membabi buta sebagai sebuah kebenaran. Tak beda dengan iklan dagangan, sebagian dari kita oke-oke saja ketika didikte oleh industri. Entah itu atas nama kesehatan, kecantikan, estetika atau kecerdasan.

Dengan perangkat komunikasi yang sangat personal tadi, iklan-iklan politik menjadi begitu mudah mempengaruhi setiap individu. Begitu cepat pula iklan ini menyebar bak virus influenza. Tulisan pada majalah teknologi tadi menyebutkan juga bahwa aktivitas media sosial tertinggi yang dilakukan orang Indonesia adalah berbagi (share) dan belanja. Jadi begitu ada status atau tulisan yang disukai, seorang pengguna media sosial seolah merasa punya tanggung jawab untuk membagikan status tersebut kepada seluruh dunia. Sensasi setelah nge-share lalu dikomen atau dapat jempol itu lho yang bikin ketagihan. Membuat seorang penge-share merasa menjadi orang yang paling berjasa di dunia. Dan yang penting semua orang bisa melakukannya dengan mudah. Untuk yang satu ini kita memang pantas mengacungkan jempol sekaki-kakinya buat si pembuat facebook, MZ.

Pertumbuhan internet dan gadget memang berperan besar terhadap munculnya friksi tajam dalam pemilu 2014. Faktor lainnya yang saya pikir paling besar kontribusinya adalah jumlah kontestan yang cuma dua pasang. Jika yang dicalonkan ada beberapa pasang, saya yakin dunia maya tidak seseru saat ini. Tim sukses kalau ingin menyerang pasangan lain pasti mikir-mikir, karena bisa jadi mereka kena batunya, berbalik diserang rame-rame.

Kebiasaan lain yang juga nggak kalah menarik untuk dicermati dalam masa pemilu adalah kultur berdebat. Media kita membangun kultur ini secara masif. Sedikit-sedikit menyiarkan debat, baik dalam bentuk debat murni atau talkshow dan wawancara yang memang kondisinya diciptakan untuk memancing perdebatan. Bahkan sebuah acara debat pun bisa dijadikan bahan perdebatan dalam acara yang lain. Jadinya memperdebatkan debat. Kerennya lagi, debat yang memperdebatkan acara debat ini justru lebih seru dibandingkan dengan acara debat aslinya. Mencari solusi? Tentu tidak. Sengotot apapun debatnya, di ujung acara si pembawa acara pasti menyampaikan kalimat penutup dengan : andalah yang menilai, andalah yang memutuskan, atau semua kembali pada anda. Atau lebih parah lagi langsung pamit tanpa kalimat penutup yang berhubungan dengan substansi perdebatan.

Lha terus gunanya eyel-eyelan tadi apa? Pamer kelihaian cangkem atau bagaimana?

Ah, sudahlah… toh mengenai debat, saya sudah pernah menulisnya dalam Kritis (Tanpa) Beroleransi

Komentar

Postingan Populer