Menyajikan Fakta (Tak Selalu) Menyuguhkan Kebenaran


Beberapa waktu lalu seorang teman memasang foto sebuah berita dari manca negara di wall facebooknya. Dalam foto tersebut ada tiga pemuka agama yang tengah berada di sebuah gereja. Menariknya, ketiga orang ini berasal dari tiga agama yang berbeda pula ; Nasrani, Islam dan Yahudi. Masing-masing mengenakan pakaian keagamaannya. Berita yang tertulis menceritakan bahwa ketiga umat agama-agama ini bisa hidup berdampingan dengan selaras di daerah tersebut.
Komentar pun berdatangan dari para pengguna facebook yang kebetulan menyimak foto berita ini. Kebanyakan memuji, menyatakan salut lantas membanding-bandingkannya dengan kondisi negara sendiri. Nggak ada yang salah sih. Mau merespon seperti apapun, silakan saja. Selama positif, bermanfaat buat kebaikan dan menghargai pendapat orang lain, meski berbeda. Seperti pendapat yang akan saya share ini.
Sebenarnya apa yang digambarkan dalam foto berita itu bukanlah hal asing bagi Indonesia. Bangsa Indonesia sudah akrab dengan kehidupan yang penuh toleransi. Nggak ada yang istimewa buat bangsa ini kalau itu berhubungan dengan nilai-nilai hidup yang adiluhung seperti kerukunan, saling menghargai, saling menolong, welas asih serta percaya akan takdir dan kekuasaan Tuhan. Kalau Indonesia baru kenal dengan yang namanya toleransi, bangsa ini pasti sudah hancur dari dulu-dulu. Silakan hitung ada berapa suku dan etnis yang hidup di Indonesia. Masing-masing punya adat, budaya dan ritual. Jadi kalau umpamanya ada seperempat saja dari jumlah semua suku yang ada di Indonesia berfoto bersama, foto berita tadi sudah nggak ada apa-apanya. Serius!
Masalahnya adalah masyarakat di jaman informasi terbuka dan cepat seperti sekarang ini sudah dijebak untuk menjadi mahluk serba instan. Kita diarahkan untuk memahami bahwa semakin cepat sesuatu, makin bagus hasilnya. Tak perlu berpikir proses, apalagi mengurus hukum sebab-akibat secara utuh. Yang penting praktis, titik. Lantas, hubungannya dengan foto berita tadi apa?
Media massa punya peran menyajikan informasi terkini dengan cepat, lengkap dan jujur. Tapi media juga dihadapkan dengan kompetisi yang ketat antar sesama media. Walhasil, karena materi yang didapat di lapangan sama, kemasannya-lah yang digenjot. Misalnya headline dibuat bombastis, foto depan juga ditampilkan yang paling keras (istilah para jurnalis foto buat gambar yang momennya pas dan ekspresif). Padahal belum tentu foto tadi bisa mewakili sebuah peristiwa secara komprehensif.
Misalnya  foto yang kebetulan merekam momen saat segelintir orang berdemo di depan sebuah kantor polisi meminta rekan mereka dibebaskan. Karena pengambilan angle yang pas, foto bisa mengambarkan seolah-olah pendemo berjumlah banyak. Teknik ini tak jarang dipakai teman-teman jurnalis foto untuk mengakali foto suasana demo. Alasannya supaya fotonya bagus dan menarik. Apalagi ditambah judul besar yang menguatkan foto tersebut. Misalnya, “ Warga Desa Anu Gerudug Mapolsek Anu ”! Wuih, jadi serem kan. Padahal cuma beberapa preman gagal saja yang melakukannya. Televisi bisa lebih parah lagi. Sudah angle-nya dimainkan, kadang dalam berita juga cuma disebutkan kata “sejumlah atau serombongan” sebagai kata ganti keterangan jumlah orang.
Apa yang dilakukan oleh pewarta foto atau jurnalis televisi saat merekam peristiwa demonstrasi tadi sama sekali tidak salah. Karena ia merekam momen yang betul-betul terjadi di lapangan. Itu fakta. Tapi, tanpa menjelaskan 5W+1H-nya dengan detil, pembaca atau penonton pun bisa tergiring ke gambaran yang diinginkan media. Lebih dramatis alias hiperbol. Menyajikan peristiwa besar berkali-kali atau mengulanginya terus-menerus juga punya efek yang kurang lebih sama. Dalam benak konsumen berita, peristiwa itu bisa dianggap jauh lebih besar dan fenomenal dibandingkan aslinya.
Dus, dengan teknik pemberitaan seperti ini, masyarakat sekarang dipaksa menerima potret bahwa kerukunan antar umat beragama di Indonesia sudah luntur dan hilang. Berita-berita konflik dan kekerasan atas nama agama jadi pendukungnya. Padahal, persis seperti kasus demo tadi, kejadian-kejadian itu cuma ulah segelintir orang. Sama sekali tak bisa dianggap mewakili masyarakat. Dan sejatinya, masyarakat secara umum tidak terpengaruh karena efek peristiwa tersebut biasanya amat sangat lokal.
Untuk menghindari hal-hal seperti ini, media mestinya bisa menahan diri. Tak perlu terlalu genit jika menyajikan sebuah kejadian. Masyarakat pun harus lebih kritis menanggapi sesuatu. Jika tak sesuai dengan kondisi riil, suarakan. Kalau perlu protes keras. Pembaca berhak mendapatkan yang terbaik, yakni informasi yang jujur, lengkap dan bermanfaat.

Komentar

Postingan Populer